Selasa, 24 Mei 2011

MATA - MALAM


MATA - MALAM



: ibu


aku selalu suka kau menjadi malam
diammu adalah bintangbintang
sengaja kau titiskan satupersatu
ke dalam siangku yang berkejaran
lelah dipapar waktu

pada malam
kau datang mengambil separuh mataku
dalam pengembaraan cahaya bayang

pada matamu
redup dan temaram menarikku
sebagai lelaki kecil tanpa alas kaki
berlarian bersama bulan
mendekap pelukan hangatmu


Epri Tsaqib

Sepenggal Catatan Perjalanan Seorang Relawan*

Sepenggal Catatan Perjalanan Seorang Relawan*

Oleh : Epri Tsaqib



Salah satu episode hidup yang mungkin termasuk banyak saya tulis dan terpatri dalam benak saya adalah ketika menjadi seorang relawan pada sebuah lembaga kemanusiaan di Jakarta. Salah satu hal yang paling saya sukai darinya adalah karena saya memiliki kesempatan bertemu dengan banyak orang dengan beragam karakter, mengunjungi tempat-tempat yang sama sekali baru bagi saya dan mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berkesan dan tentu saja berharga di dalam kehidupan saya sendiri.

Saya ingat pada awal tahun 2006, saya bertugas ke Nusa Tenggara Barat yang pada saat itu ditetapkan Pemerintah RI masuk katagori KLB (Kejadian Luar Biasa) yakni berkaitan dengan adanya kasus Busung Lapar atau diistilahkan Kwashiorkor. Cukup mengherankan bagi saya dan tim saya, karena penetapan KLB itu sudah hampir 1 tahun berlalu, akan tetapi kasus-kasus Busung Lapar ini masih begitu banyak dijumpai di Nusa Tenggara Barat. Data-data itu saya peroleh dari jaringan rekan-rekan relawan saya yang berada di Lombok NTB, mereka yang sehari-hari bertugas dan tinggal di daerah itu berulang kali memberikan kabar kepada saya mengenai kasus ini ketika itu. 

Singkat cerita saya berangkat untuk membawa misi  bantuan kemanusiaan kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung itu.Selepas turun dari bandara, tanpa beristirahat terlalu lama, saya dan seorang rekan saya diantar oleh mitra kami di NTB, sebuah LSM lokal yang aktif mengadvokasi dan membantu masyarakat itu ke rumah keluarga yang kekurangan gizi dan menderita Busung Lapar.  Kami mendatangi sebuah keluarga di sebuah dusun yang warganya banyak terkena Busung Lapar ketika itu. Bapak Munawir, demikian nama kepala keluarga pertama yang saya datangi. Kami (saya dan rekan saya) segera terdiam sesaat (tepatnya tertegun kaget dan miris) ketika melihat kondisi kedua anak pak Munawir yang dibawa ke halaman tempat kami menunggu. Si sulung putra Bapak Munawir  yang bernama Abdul Wahid berusia 12 tahun berat badannya hanya sekitar 17 kg (kurus sekali, setara dengan anak berusia 3 tahun), saya membantu pak Munawir menggendong anak itu …ah…wajah anak itu begitu pucat dan tubuhnya ringan sekali. Ketika saya melepas gendongan saya karena ingin mencatat  data-datanya ternyata Abdul Wahid tidak bisa duduk dengan tegak karena badannya  memang lemas hingga satu tangan saya harus ikut juga memeganginya. Anak itu seperti layaknya orang yang lumpuh, hanya bisa berbaring dan bersandar (itupun harus dipegangi), semua karena ia semata kekurangan makan…hiks, lagi-lagi mulut saya tercekat. Sementara adiknya yang bernama Raihun (8 tahun) tidak jauh berbeda keadaanya. Bahkan dari mulutnya juga selalu meneteskan air liur. Badannya juga sama kurusnya seperti kakaknya. Kedua kakak beradik ini belum bisa berbicara secara lancar padahal usianya sudah jauh dari cukup untuk bisa melakukannya.

Menurut penuturan ayahnya, mereka berdua mengalami hal semacam ini sejak usia kurang lebih 7 bulan. Sampai hari ini, saat kami mengunjunginya, kondisinya belum berubah banyak. Keduanya pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Mataram oleh  LSM yang menjadi mitra lokal tempat kami bertugas ketika itu.  Pak Munawir gamang dan bingung, di satu sisi ia harus bolak-balik dan menunggu kedua anaknya yang dirawat di Rumah Sakit namun di sisi lain Istri dan anaknya yang ketiga yang masih bayi pasti kelaparan karena ia praktis tidak bisa bekerja karena harus menunggui kedua anaknya. Munawir  adalah seorang buruh tani yang digaji harian di kampungnya. Dilematis sekaligus ironi baginya, bak memakan buah simalakama.  Akhirnya dalam keadaan bingung, ia memutuskan membawa kabur kedua anaknya yang sebenarnya masih butuh perawatan itu  pulang ke rumahnya secara diam-diam agar bisa mencari nafkah bagi istri dan anak ketiganya yang masih bayi.

Sungguh hati saya bagai disayat-sayat sembilu ketika itu. Perasaan saya campur aduk tak menentu melihat kenyataan ini. Betapa zalimnya para pemimpin di negri ini yang tidak bersegera bertindak melihat anak-anak negrinya dalam keadaan seperti itu. Masya Alloh….apakah jabatan dan kemewahan yang dimiliki para pejabat itu begitu menyilaukan dan membuat mereka tak lagi sempat mengurusi rakyatnya yang ditimpa nestapa perih karena himpitan ekonomi  semacam pak Munawir dan  keluarganya ini?  Entahlah, yang pasti saya sulit berkata-kata ketika itu, apalagi setelah rekan saya menunjukkan lebih banyak lagi orang-orang yang bernasib sama dengan keluarga pak Munawir di bumi NTB ketika itu. Betapa anehnya keadaan kita yang buminya begitu subur, gemah ripah loh jinawi, akan tetapi rakyatnya hidup dalam himpitan tekanan ekonomi sedemikian rupa. Perlu dicatat ketika itu NTB adalah propinsi kedua setelah NTT di mana banyak  ditemukan anak-anak penderita busung lapar  seperti keluarga Bapak Munawir.  Setelah itu, dengan dibantu LSM lokal yang menjadi mitra kerja lembaga tempat saya bernaung, kami membuat program reguler berupa program perbaikan gizi dengan pemberian susu dan makanan sehat secara gratis bagi dusun-dusun miskin dan penyuluhan dari kader-kader relawan kesehatan di NTB. Semua diawali dengan pemberian daging kurban Idul Adha yang dititipkan para donatur dari Jakarta kepada kami ketika itu.  Saat pemotongan hewan kurban dan memberikan daging-daging itu kepada para keluarga-keluarga miskin itu termasuk Bapak Munawir dan keluarganya, tak terasa mata saya menghangat haru. Wajah-wajah kuyu dan kurus itu tersenyum dan berulang kali mengucapkan terimakasih kepada saya dan kawan-kawan. Sebagian orang tua anak-anak penderita busung lapar itu memeluk saya dengan menangis sambil terbata-bata berkata di telinga saya,

“Terimakasih nak, terimakasih…..semoga Alloh membalas budi baikmu dan mengangkat derajat keluargamu…” Dada saya terasa sesak. Saya hanyalah relawan yang kebetulan dititipi amanah menyalurkan bantuan, tidak lebih. Tapi rasa syukur mereka begitu dalam dan tulus. Bagi mereka, bisa makan daging sapi sehat dan segar semacam itu mungkin ya cuma bisa datang 1 tahun sekali saat lebaran Idul Adha semacam ini, itupun bila di desa mereka ada yang kebetulan memotong hewan kurban.  Setelah itu, para rekan relawan lokal kami yang ada di NTB bekerjasama dengan Lembaga yang menugaskan saya di Jakarta meneruskan program reguler perbaikan gizi pada saat itu kepada keluarga-keluarga penderita Busung Lapar berupa pemberian susu dan makanan sehat serta penggalakkan kegiatan Pos Yandu yang salah satunya adalah secara rutin menimbang berat badan bayi serta penyuluhan-penyuluhan kesehatan. 

Semestinya para relawan lokal itulah yang sebenarnya lebih pantas menerima semua ucapan terima-kasih dari para keluarga penderita busung lapar, merekalah yang dengan sabar terus mengadvokasi dan memberi bantuan sebisa-bisanya dengan semua keterbatasan sumber dana yang mereka miliki.  Dari mereka saya banyak belajar bahwa kesungguhan dan keikhlasan berbuat untuk sesama akan memberi efek secara langsung kepada diri kita sendiri. Apalagi kalau bukan kebahagiaan hati. Dengan membantu sesama sekecil apapun, kita sebagai pribadi akan merasa jauh lebih berarti dan hidup itu sendiri baru akan terasa memiliki makna.  Semoga Alloh menjaga hati saya dan menurunkan pemimpin yang adil di negri ini, karena setelah 5 tahun berlalu sejak saya pergi ke NTB itu, sampai hari saya masih mendengar berita mengenai busung lapar ini masih muncul di beberapa stasiun TV di beberapa wilayah lain di Indonesia termasuk di pulau Jawa dan bahkan terakhir ada berita semacam itu di pinggir Ibukota Jakarta ini, di mana para pejabat dan wakil rakyat hidup mewah dan sangat rajin studi banding keluar negri.


                                                                               *****

* Diambil dari tulisan saya yang berjudul “Kita Tak PantasMencium Bau Surga.”, Portalinfaq.org 2006 dengan sedikit
tambahan materi untuk keperluan buku ini. 

~ Saya persembahkan tulisan ini untuk sahabatsahabat saya di LSM  GEMMA    (Gerakan Pemuda Mandiri Nusantara,
Mataram, NTB). Juga rekan saya Agus yang     ikut pada saat bertugas di NTB. Semoga Alloh memberi kekuatan dan  balasan yang    
tak terhingga untuk kalian ya.~

Yang Penasaran dengan isi Buku PARA GURU KEHIDUPAN ini silahkan pesan ke www.geraibuku.com atau email ke geraibuku@gmail.com telp/SMS ke : (021) 3099 8655