Kamis, 02 Juni 2011

Cerpen yang katanya Terinspirasi dari Puisi Saya

Seorang sahabat mengirim pesan dalam emailnya bahwa naskahnya dimuat pada salah satu majalah Remaja di Ibukota Jakarta. Dia bilang bahwa cerpennya itu terinspirasi dari puisi yang saya buat.

Kalau mau tahu lebih jauh, silahkan disimak saja ya cerpen tersebut di bawah ini. Oiya nama penulisnya Wiekerna Malibra. Semoga Tuhan memberinya banyak kebahagiaan. Amiin.


------------------------------------******------------------------------------------------

Matamu Mataku

seperti cermin kita bersitatap
mempertanyakan kedalaman
merapikan asa yang begitu suka berkejaran
meninggalkan banyak rencana yang terlewat tenggat

Jemari Mahesa lincah bermain pada senar gitar mengiringi puisi ‘Matamu Mataku’ Epri Tsaqib* yang dilafalkan Galuh. Wajah tirus Galuh pucat meski masih terlihat cantik. Sepasang matanya yang biasa berkilau indah kini terlihat redup. Bait berikutnya mengalun syahdu. Galuh tak mempedulikan riuh suara dan tepukan kekaguman teman-teman di acara pensi sekolah mereka. Dia melafalkan puisi itu untuk dirinya sendiri.

“Galuh oke banged deh.” Arman antusias menyambut Galuh ketika turun dari panggung.
“Mahesa juga oke loh. Jarang kan yang bisa musikalisasi seindah dia.” Tantri melirik Mahesa yang hanya tersenyum menanggapi.
“Waah…Tak diragukan lagi. Duet yang serasi.” Arman menunjukkan dua jempolnya. Teman-teman yang lain tertawa melihat kekonyolannya. Suasana menjadi riuh. Semua terlihat bahagia, tanpa beban. Beda dengan Mahesa. Melihat wajah Galuh yang semakin pucat adalah duka tersembunyi buatnya.

Saat semburat jingga menebar di angkasa, acara pun usai. Satu persatu meninggalkan aula sekolah. Begitu pula Galuh dan Mahesa. Langit kelabu dengan matahari senja yang tampak kasat mata seolah mengiringi perputaran roda-roda motor mereka. Di jalan raya yang padat dengan mobil dan metromini, mereka berpacu. Dan senja semakin merah. Bentuk matahari yang bulat dan warnanya yang merah oranye mengingatkan Mahesa pada telur mata sapi buatan Galuh. Dia melihat dari kaca spion. Bibir Galuh yang ranum membentuk senyum.

“Ada apa Ga?”
“Lihat!” Telunjuk Galuh mengarah pada matahari.
“Seperti kamu.”
“Aku? Nggak ah. Matahari itu lebih mirip wajahmu. Bulat bersemu merah. Bercahaya.” Galuh protes.
“Iya. Tapi sekarang wajahmu seperti matahari itu.” Mahesa tertawa karena melihat rona merah di wajah Galuh.
“Masa sih? Bukannya kamu juga begitu.”  senyum Galuh pun mengembang.
“Hahaha.” ucapan Galuh membuat Mahesa tertawa lepas.

Mahesa terus melaju. Jakarta di waktu senja, beringsut seperti siput bersama dengan datangnya jubah malam. Lampu-lampu mewarnai jalanan, berpijar dan memendarkan sinar gemerlap yang membiaskan cahaya pelangi berpadu dengan umbul-umbul dan ondel-ondel. Menjelang malam pemandangan di sepanjang jalan protokol kota metropolis ini bertambah semarak.
K K K

Kamar merah jambu nan temaram. Dipan kayu jati berseprai putih, kelambu putih, membuat ruangan terasa sakral. Kamar Galuh berada di lantai dua. Di tengah dinding ruangan berukuran 4 x 5 meter itu ada sebuah jendela bulat yang berkusen sangat lebar. Dari jendela kamarnya, Galuh biasa melihat atap-atap rumah yang berjejalan di kejauhan. Kadang dia duduk bersandar di kusennya yang terbuat dari beton, bahkan sering tertidur.

Tapi kali ini kebiasaan itu tak dilakoninya. Hasil rontgen terakhir dari Lab Rumah Sakit telah mengusik ketenangannya. Ia meraih album besar yang  teronggok sepi di meja sudut. Sepasang tangannya membuka album itu dan tampak dirinya sedang tersenyum ceria. Dibelakangnya seorang pemuda tak kalah lebar senyumnya. Dengan nafas tertahan dia meraba foto itu. Menatap di kedalaman jiwa. “Mahesa…matamu, mataku…mata papa.”

Lantas tangan itu terus membuka lembar demi lembar foto-foto yang terpampang dihadapannya. Perlahan timbul rasa yang menguak dalam dadanya, begitu pelan namun tajam mengiris. Hingga ia tak kuasa membendung segala perih yang merambat ke sekujur tubuhnya. Sebulir air mata Galuh jatuh di atas selembar foto empat anak manusia berlatar sekumpulan teratai yang tengah mekar.

Dengan menatap foto itu saja, puluhan kabel memori yang telah lama tertidur, berlompatan dan membuat keriuhan dalam benak Galuh. Jemari tangannya menyusuri setiap inci yang terekam. Mengungkap potongan-potongan masa silam yang tertera di atas foto. Galuh terhenyak. Jemarinya bergetar, tak kuasa menahan lara yang memenuhi rongga dada yang telah merampas keutuhan dirinya kali ini. “Papa….” gumamnya lirih.

Tiga tahun lalu, pesta ulang tahunnya dan Mahesa diadakan di Taman Teratai. Mereka menyukai sisi arsitektur bangunan luar termasuk pilar dan ukiran tiang pendopo. Interior kursi dan mejanya khas daerah Bali. Corak ragam hias taman itu mengesankan pulau dewata. Keunikan pestanya adalah karena Galuh boleh mengundang anak-anak kecil dari keluarga tak mampu ikut menikmati hidangan pesta. Hal yang tak lazim di mata kawan-kawannya tapi menyenangkan buatnya.

Papa adalah inspirasi hidup Galuh. Namun kebahagiaan hanya mampir sejenak dalam hidupnya. Semua cerita indah selama 15 tahun dilaluinya bersama Papa tinggal sebuah cerita. Sebulan setelah pesta itu, dalam rinai hujan yang deras, mobil yang dikendarai Papa tertimpa pohon besar di tepi jalan yang mengakibatkan kematiannya. Kecelakaan tragis itu meluluhlantakan hidup Galuh dan Mama. Tertatih, mereka berusaha bangkit meraih hidup kembali bersama Mahesa. Tiga tahun berlalu dan hasil rontgen itu datang…

Lompatan kabel memori dalam kepalanya terus mendengung seperti sekumpulan lebah yang membuatnya pening. Galuh melenguh, “Apakah papa akan menjemputku…”
K K K

Minggu pagi. Suara celoteh Mahesa dan Mama membuat Galuh terbangun dari tidurnya. Cahaya keemasan menyisip dari balik gordin bunga-bunga tulip berwarna biru-ungu yang menutup jendela. Selepas mandi, Galuh melewati mereka yang sedang sarapan di teras.
“Mau kemana Ga?” sapa mama lembut.
“Joging.”
“Sarapan dulu Ga.” mama mencoba menahan langkahnya.
“Nanti saja Ma. Belum lapar.” Galuh mengecup pipi mama. Tanda bahwa ia minta izin.
“Aku ikut.” serentak Mahesa berdiri dan meraih jemarinya. Galuh menyambutnya.
“Galuh, ini teh susu kesukaanmu.” Mama menyodorkan gelas pada Galuh, membuatnya tak bisa menolak.
“Terima kasih Ma. Apapun lebih enak dengan mama di sisiku.” Galuh tersenyum. Dia bergayut manja di lengan mama dan mengecup pipinya sekali lagi.
“Aku antar Galuh berkeliling ya, Ma.” Mahesa pamit dan mengecup lembut pipi mama. 
“Hati-hati di jalan sayang. Jaga Galuh, Sa.” Mama melambaikan tangan pada mereka.

Pelan tapi pasti, Galuh dan Mahesa menyusuri jalan setapak menyisiri blok demi blok perumahan menuju Taman Teratai. Galuh sangat mengagumi kabut pagi. Kabut pagi yang menghubungkan masa kini dengan masa kecil bersama Papa. Tapi sering kali Galuh terlupa. Maka dicobanya memburu sisa-sisa kabut pagi yang masih tampak pagi ini. Mentari sudah condong ke arah barat ketika mereka sampai di Taman Teratai. Pada satu openstage yang menghadap kolam teratai, mereka duduk bersila.

Dengan leluasa Mahesa menatap hamparan aneka kelompok manusia kompleks yang tak asing ; tertawa, berlari, berteriak, bahkan diam. Sedangkan Galuh melepaskan keluasan pandang matanya pada awan yang menggantung di langit. Berharap gumpalan-gumpalan kegelisahan yang menyesakkan nafasnya terbang membumbung bersama awan-awan itu dan berarak pergi ke sisi langit yang lain. Seperti asa yang sama pada segala tumpahan rasa duka atas sakit yang di deritanya.

Mahesa beralih pada sikap diam Galuh. Galuh semakin kurus. Matanya terpaku pada satu teratai biru yang tengah mekar di antara banyak teratai putih.  Sepotong ucapan Galuh jatuh di keheningan; “Teratai biru itu langka dan usia keindahan teratai itu hanya sebulan lalu luruh. Tapi ia meninggalkan benang sarinya, untuk kemudian terus tumbuh mencipta teratai biru yang lain. That’s how’s life actually Mahesa. Keindahan itu hanya sesaat.”

“Bagiku tak ada keindahan yang sesaat bila kamu selalu ada di dekatku, Galuh.”
“Aku yakin, kamu sangat mengenalku dengan baik. Kuharap kamu tak mencari-cari aku dalam kenangan esok.”
“Apa maksudmu? Sebulan ini sikap dan tutur katamu jadi aneh.
“Mungkin besok tak ada lagi seorang Galuh dalam hari-harimu, Mahesa.”
“Kamu bercanda. Kamu akan selalu ada di hatiku.”
Galuh menatapnya lekat dan meraih jemarinya. “Aku akan menyusul Papa, Mahesa.”
“Ngomong apa kamu, Ga? Istighfar. Allah akan memanjangkan usiamu.” Mahesa berusaha menata suaranya untuk tetap tenang.
Galuh menggeleng. Sesaat menarik nafas dalam. “Aku menjadi kuat selama kamu ada di dekatku, Mahesa. Tapi aku tak bisa egois meminta itu selamanya pada Allah.”
I believe we will always be together, if you want to believe it.”  Mahesa menyentuh halus lengan Galuh. Dia menatap tembus ke manik matanya, “Do you?

Galuh mengangguk. Mencoba menenangkan Mahesa lewat senyuman. “Tapi aku tak punya pilihan Mahesa. Kamu akan menjalani hidupmu di sini bersama Mama. Sedang aku…. aku akan melanjutkan hidup di tempat lain, yang entah apa.” 
“Galuh, kenapa kamu begitu yakin akan meninggalkanku dan Mama?” Mahesa mengguncang bahunya. Suaranya keluar dengan ritme nafas yang tersengal.
“Kamu tahu kondisiku kan?” Galuh berdesis. Mahesa mengangguk pelan.
“Kenapa kita harus takut dengan perpisahan? Jika pada akhirnya nanti kita akan berpisah juga.” Suara Galuh tercekat di tenggorokan.

Mereka saling bersitatap dalam diam. Mahesa menyusuri wajah Galuh. Mencari kesungguhan dalam garis wajah yang sejak kecil dikenalnya. Untuk kesekian kalinya wajah itu terlihat tak bernyawa. Hanya garis-garis pias tertangkap di bola matanya. Mahesa bergidik. Dia seperti melihat dirinya sendiri pada ruang dan waktu yang kerap dijelajahinya bersama Galuh. Saudara kembarnya yang sejak lahir menderita penyakit jantung bawaan. Para dokter lebih sering menyebutnya congenital heart disease.

Semakin bertambahnya usia, lubang di antara dua serambi jantung Galuh semakin besar hingga memicu penyakit paru-paru. Galuh makin sering sesak nafas dan bibirnya sering terlihat membiru. Dokter memprediksi meski ikut terapi tapi harapan hidup Galuh tetap rendah. Mahesa iba padanya. Dia dan mama selalu berusaha untuk menghibur Galuh.

Desir angin pagi menggoyangkan dahan-dahan dan ranting pepohonan. Daun-daun jatuh mengecup lembut rumput di sekitar taman. Riak-riak halus pun timbul di seluruh permukaan kolam teratai. Atmosfer syahdu bagi benak dan jiwa yang gelisah akan mimpi-mimpi. Sesaat Galuh tersenyum. Bibirnya bergetar mengeja puisi yang dia suka.
“Seperti riak air, setiap getaran menjauhkan kita dari pusat tetesan dan sebelum kita tersadar, ribuan tetes gerimis menjelmakan  kegelisahan dan mimpi-mimpi baru.”*

Mahesa meraih jemarinya dan mengusap lembut keringat yang berembun di pelipis Galuh. “Aku sayang kamu, Galuh.”
“Aku juga sayang kamu, Mahesa. Aku juga sayang Mama. Aku bahagia bersama kalian.”
“Terima kasih Ga. Bertahanlah untuk kami.”
Galuh tersenyum ragu. “Aku hanya mampu bertahan tapi Allah yang berkuasa atas hidupku.” Suaranya kembali tercekat di tenggorokan.
Mahesa tak kuasa mendengarnya dan memilih menopangkan wajahnya di atas pundak Galuh. Mereka seperti disatukan oleh bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
K K K

Kabut tak jua sirna. Sejak pagi kuningnya matahari tidak tampak. Sementara mega berarak cepat membentuk formasi sepasukan kuda putih yang bermetamorfosa menjadi awan kelabu. Langit menghitam, mengeluarkan gemuruh bertalu. Hingga tersedak mengeluarkan cahaya kilat. Petir pun menyambar, menukik di atas tiang-tiang listrik di seberang jalan. Sekejap tangis langit pun tumpah. Titik-titik air turun membasuh bumi.

“Mahesa…” lirih Galuh memanggil. Tak ada sahutan. Sudah 2 hari Mahesa dirawat di Rumah Sakit. Mahesa terserang DBD. Mama terlambat menyadarinya. Karena mengira nyeri kepala yang menyerang Mahesa hanya sakit kepala biasa. Pun ketika Mahesa mengeluh persendiannya ngilu, Mama mengira itu karena Mahesa terlalu letih bertanding basket. Mama baru cemas ketika Mahesa mimisan. Melihat lubang hidung Mahesa yang terus berdarah dan bintik-bintik merah menyebar di seluruh kulit tubuhnya, mama baru membawanya ke Rumah Sakit. Tapi Virus Dengue yang ganas telah menggerogoti kekebalan tubuhnya. Mahesa demam tinggi. Tubuhnya terlanjur rapuh.

“Mahesa…” Galuh memanggil lagi. Masih tak ada sahutan. Tubuh Mahesa pun tak bereaksi. Galuh tak ingin melepaskan pegangannya pada jemari Mahesa. Jemari yang dingin dan pucat. Seorang perawat menghampiri dan mengontrol keadaan Mahesa. Keningnya bertaut. Dia menghela nafas dan memandang Galuh dengan bibir terkatup dan meninggalkan ruangan. Galuh sangat cemas ketika disentuhnya seluruh tubuh Mahesa begitu dingin. Tak lama perawat tadi datang bersama perawat lain. Mereka begitu sibuk mengontrol keadaan Mahesa.
“Maaf, saudara mbak sudah tak bernyawa…” Perawat tadi bicara begitu pelan tapi terdengar seperti gemuruh halilintar di telinga Galuh.
“Kami harus segera memindahkannya ke ruangan lain.” Perawat lain berkata.

Galuh tak bergeming. Rasa sakit di jantungnya membuat nafasnya sesak. Para perawat itu akhirnya bergegas mengeluarkan dipan Mahesa dari kamar yang sudah dihuninya 2 hari 2 malam. Mereka memindahkan Mahesa ke lantai lain. Galuh mengiringinya hingga para perawat memasukkan dipan Mahesa pada kamar berpenghuni tubuh-tubuh tertutup kain putih. Galuh tak bisa menjerit pun merintih. Ia merasa tubuhnya melayang.

Hidup memang tak selalu mulus dan tak selalu seperti yang diharapkan. Harapan Galuh mengarungi hari-hari terakhir bersama Mahesa tiba-tiba terhenti. Jiwanya terhenyak di alam kenestapaan. Matanya menatap kaku pada tubuh yang juga kaku. Kemesraan kakak beradik dan cinta kasih saudara kembarnya terpenggal tepat di urat nadi. Tubuh Mahesa kini tanpa ruh. Kematian sudah menunaikan janji. Bukan atas dirinya tapi Mahesa!

“Kau tahu Sa, hingga kemarin, matamu mataku masih seperti cermin kita bersitatap mempertanyakan asa. Kalau kau lihat kini, riak air di mataku menjelma tetes gerimis kegelisahan. Sa, masihkah ada mimpi baru untukku bila aku hidup tanpamu?” Pikiran Galuh menerawang ke langit lepas. Begitu kelabu dalam rinai hujan yang deras. Ruhnya serasa ingin mengiringi perjalanan ruh Mahesa menuju sisi Sang Pencipta.

“Allah pernah memberikan permata yang indah pada Mama. Dan kini, Ia mengambilnya kembali. Mahesa, kaulah permata itu. Apa yang selama ini kau lakukan untuk kita semua, telah menjadi kehidupan paling istimewa buat Mama.” wanita separuh baya itu tak dapat menahan isak tangisnya. Dia merangkul Galuh, mencoba berbagi kekuatan.

Galuh menatap hampa jalanan yang seolah tak berwarna. Angin hujan menghempas ruang beku hatinya dan membulirkan air dari sudut rapuh matanya. “Inikah jawab dari gundah yang kerap melanda jiwanya?”  Puluhan kabel memori kembali berlompatan dan menari dalam benak Galuh. Begitu riuh membuatnya sangat pening. Segala sesuatu seperti berjalan mundur, seperti derasnya air hujan yang menyulap horizon menjadi hijab pandangnya hingga ke titik nisbi. Galuh limbung. Dia tak ingat apa-apa lagi…
L L L
(*cerpen ini terinspirasi dari puisi ‘Matamu Mataku’ karya Epri Tsaqib, pernah di muat di Story edisi 11. Penggunaan bait-bait puisi atas seizinnya. Terima kasih untuk Mas Epri. Salam sukses!)

Profil Penulis : 


Wiekena pernah menjadi  Juara III Lomba Cerpen Cintaku Untukmu QLC Trenggalek, Februari 2010, Judul : ”Menyibak Tirai Papa ke Huizen”.

Dua kali Juara I Lomba Cerpen Pramuda FLP Jakarta 2008, Judul : “Kisah Di Balik Hujan” dan ”Kisah Seorang Schizoprenic”.  

Essai “The Lost Prince” tergabung dalam buku “24 Jam Sebelum Menikah” bersama Koko Nata, Aura Nafisha dan penulis FLP lainnya.

Cerpen-cerpennya yang di muat di media antara lain :”My Funky Mom” (Teen). ”Asrama Dara *Mode On” (Gaul). ”Suara Seorang Waria” (Kompas). ”Cinta Rumah Singgah” (Wanita Indonesia). Resensi ”Munir ’Cermin’ Yang Mewariskan Keberanian” (Radar Malang) dan resensinya untuk novel Casuarina terpilih sebagai Resensi Tertajam (2009). Tulisannya juga tergabung di dalam buku "Para Guru Kehidupan." (geraibuku.com, 2011).