Minggu, 06 November 2011

Cover Buku Saya Berikutnya - MATA RUANG


Alhamdulillah buku saya akan segera terbit. Judul bukunya
MATA RUANG, sebuah buku kumpulan puisi yang akan diterbitkan
oleh www.geraibuku.com di tahun 2011 ini.

Foto pada cover depan tersebut adalah karya seorang fotografer
yang berasal dari Romania, Alexandra. Selain itu ada beberapa foto
dan  sketsa. Untuk sketsa saya berterimakasih kepada Cassle

yang sudah membantu saya dengan karyanya dalam buku ini.

Untuk sementara sahabat-sahabat yang ingin memiliki buku ini, baru
bisa pre-order atau pesan dulu kepada geraibuku.com, boleh via
situs ini atau email ke geraibuku@gmail.com Nanti akan dilist dan
dihubungi oleh geraibuku.com ketika buku sudah terbit dan diundang ke acara Launching buku ini bersama saya.

Minta doanya ya, biar lancar. Tentunya saya akan sangat membahagiakan sekali berbagi kepada anda semua para
pembaca tentang proses kreatifnya setelah buku ini terbit.

Salam hangat, salam kreatif


Epri Tsaqib

Rabu, 02 November 2011

Catatan Malam

Ada ritme baru dalam hidup saya
belakangan ini yang mulai saya sukai. Saya relatif tidur cepat
dan terbangun di tengah malam seperti malam ini.
Selain bisa mengerjakan tugas-tugas saya dengan lebih tenang,
terkadang ada beberapa hal yang mengusik  saya untuk berfikir
lebih dalam tentang segala sesuatu dalam hidup saya.

Salah satu hal yang mengusik saya itu adalah sebuah pertanyaan
yang berulang-ulang muncul dalam hati saya. Saya sering bertanya
apakah dalam tubuh dan pikiran saya yang sederhana ini sudah
memberikan manfaat yang banyak
bagi orang-orang terdekat di sekitar saya atau di
lingkungan yang lebih luas lagi.

Salah satu alasannya adalah bahwa saya tahu betul usia
hidup saya tidak panjang. Umur ragawi saya pendek.
Lalu bagaimana caranya agar waktu yang terbatas itu bisa
diaktualisasikan dalam nilai kebermanfaatan yang lebih luas.

Apakah pikiran-pikiran dan gerak tubuh saya sudah berarti
bagi orang lain. Apakah gagasan-gagasan besar dari tubuh
kecil ini sudah lahir dan berwujud di tengah masyarakat?
Karena pikiran dan gagasan sebesar apapun tidak akan
berarti apa-apa bila tidak keluar menjadi aksi yang kongkrit.
Ia sekali lagi, bukan hanya kata-kata.

Lalu saya mulai menulis ulang beberapa agenda,
kemudian berdoa kepada pemilik jagat yang Maha
Sempurna ini agar saya tetap  fokus dengan cita-cita
dan nilai-nilai kebermanfaatan itu tadi. Saya ingin
berjalan di bumi ini tetap dengan tujuan-tujuan itu
dan bukan sekedar mengejar memuaskan diri sendiri.

Kalau niat saya benar, saya percaya Alloh akan menjaga saya.

Pada malam-malam seperti ini, terasa sekali aura
spiritualitas itu mengelilingi. Semoga Alloh memberi
menguatkan dan saya bisa istiqomah, karena hanya
dengan hal itu sajalah hidup yang singkat ini bisa
terasa lebih bermakna.

Selamat malam semuanya,


Epri Tsaqib

Kamis, 27 Oktober 2011

Antara Hari Blogger , Sumpah Pemuda dan Penulis

Kemarin saya diberitahu teman bahwa hari itu
adalah  hari Blogger, dan hari ini tepat hari Sumpah Pemuda. Apa hubungannya? tidak mesti dihubung-hubungkan sih, tapi setidaknya saya sendiri merasa ada hubungannya setidaknya dalam spirit.

Sudah banyak yang maklum bahwa dengan perkembangan dunia internet, muncul banyak blogger. Kemudian disusul juga adanya era MIcro Blogging yang dengan kata lain lebih sering kita dengar sebagai situs jejaring sosial.

Celakanya dengan munculnya situs-situs jejaring sosial itu, banyak para 'aktivis'blogger yang dulunya rajin nge=blog sekarang jadi vakum. Tak ada yang salah sih dengan hal itu, semua adalah pilihan dan sama sekali tidak dosa. Masalahnya adalah 2 media itu berbeda dari berbagai sisi. Jejaring sosial memang menjanjikan kepraktisan interaksi, tapi di sisi lain blog memiliki kelebihan menyimpan data di halaman depan dengan baik dan telah terbukti banyak melahirkan penulis di banyak tempat di dunia ini.

Tak sedikit penulis yang lahir berawal dari hobi ngeblog. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang menjadi terkenal dan merambah ke dunia lain di samping dunia kepenulisan, seperti broadcasting dan enterpreneurship.  Semua berawal dari ngeblog.

Ada di antara rekan-rekan saya yang bercerita bahwa mereka sudah begitu terlena dengan micro blogging dan berdampak dengan minimnya aktivitas menulis. Dalam sebuah pelatihan kepenulisan di Surabaya beberapa waktu lalu misalnya, seorang peserta yang cukup senior dalam dunia penerbitan dengan tanpa sungkan bertanya bagaimana caranya agar berjejaring sosial itu tetap bisa membuatnya kembali menulis seperti dulu. Waduh Cur-Col banget kan tuh....

Alhamdulillah saya tetap menulis selama 2 tahun ini, saya juga sedang menyiapkan proses akhir buku saya berikutnya setelah belum lama ini melahirkan buku antologi bersama seputar kisah-kisah inspiratif,  tapi ternyata setelah saya ingat-ingat sebenarnya saya juga termasuk yang terkena sindrom malas ngeblog karena asyik berjejaring sosial itu tadi. Padahal ngeblog itu punya sisi keasyikan tersendiri dibandingkan ber-Face Book atau ber-twitter ria. Ngeblog adalah arena latihan yang sangat efektif bagi para penulis untuk tetap menjaga stamina jemarinya agar terus menulis dan menulis. Konteksnya boleh tulisan apa sajalah, selama itu positif.

Ngblog sudah banyak diakui pada hari ini juga sebagai sarana influencer, promosi gratis dan tentu saja membangun kredibilitas seseorang, karena lewat tulisan, seseorang sebenarnya sedang menunjukkan kapasitas intelektualnya secara langsung kepada para pembancanya.

Nah kalau sudah begini, rasanya pas kalau kita melihat hubungan spirit sumpah pemuda itu dengan hari blogger Nasional. Menggunakan yang instan tentu boleh saja karena itu pilihan tapi merawat yang punya manfaat banyak juga jangan ditinggalkan di era seperti sekarang ini.

Jadi, selamat hari Blogger, hari Sumpah Pemuda dan teruslah bergerak untuk perubahan Indonesia yang jauh lebih baik dari hari ke hari ya!

Salam


Epri Tsaqib

Kamis, 02 Juni 2011

Cerpen yang katanya Terinspirasi dari Puisi Saya

Seorang sahabat mengirim pesan dalam emailnya bahwa naskahnya dimuat pada salah satu majalah Remaja di Ibukota Jakarta. Dia bilang bahwa cerpennya itu terinspirasi dari puisi yang saya buat.

Kalau mau tahu lebih jauh, silahkan disimak saja ya cerpen tersebut di bawah ini. Oiya nama penulisnya Wiekerna Malibra. Semoga Tuhan memberinya banyak kebahagiaan. Amiin.


------------------------------------******------------------------------------------------

Matamu Mataku

seperti cermin kita bersitatap
mempertanyakan kedalaman
merapikan asa yang begitu suka berkejaran
meninggalkan banyak rencana yang terlewat tenggat

Jemari Mahesa lincah bermain pada senar gitar mengiringi puisi ‘Matamu Mataku’ Epri Tsaqib* yang dilafalkan Galuh. Wajah tirus Galuh pucat meski masih terlihat cantik. Sepasang matanya yang biasa berkilau indah kini terlihat redup. Bait berikutnya mengalun syahdu. Galuh tak mempedulikan riuh suara dan tepukan kekaguman teman-teman di acara pensi sekolah mereka. Dia melafalkan puisi itu untuk dirinya sendiri.

“Galuh oke banged deh.” Arman antusias menyambut Galuh ketika turun dari panggung.
“Mahesa juga oke loh. Jarang kan yang bisa musikalisasi seindah dia.” Tantri melirik Mahesa yang hanya tersenyum menanggapi.
“Waah…Tak diragukan lagi. Duet yang serasi.” Arman menunjukkan dua jempolnya. Teman-teman yang lain tertawa melihat kekonyolannya. Suasana menjadi riuh. Semua terlihat bahagia, tanpa beban. Beda dengan Mahesa. Melihat wajah Galuh yang semakin pucat adalah duka tersembunyi buatnya.

Saat semburat jingga menebar di angkasa, acara pun usai. Satu persatu meninggalkan aula sekolah. Begitu pula Galuh dan Mahesa. Langit kelabu dengan matahari senja yang tampak kasat mata seolah mengiringi perputaran roda-roda motor mereka. Di jalan raya yang padat dengan mobil dan metromini, mereka berpacu. Dan senja semakin merah. Bentuk matahari yang bulat dan warnanya yang merah oranye mengingatkan Mahesa pada telur mata sapi buatan Galuh. Dia melihat dari kaca spion. Bibir Galuh yang ranum membentuk senyum.

“Ada apa Ga?”
“Lihat!” Telunjuk Galuh mengarah pada matahari.
“Seperti kamu.”
“Aku? Nggak ah. Matahari itu lebih mirip wajahmu. Bulat bersemu merah. Bercahaya.” Galuh protes.
“Iya. Tapi sekarang wajahmu seperti matahari itu.” Mahesa tertawa karena melihat rona merah di wajah Galuh.
“Masa sih? Bukannya kamu juga begitu.”  senyum Galuh pun mengembang.
“Hahaha.” ucapan Galuh membuat Mahesa tertawa lepas.

Mahesa terus melaju. Jakarta di waktu senja, beringsut seperti siput bersama dengan datangnya jubah malam. Lampu-lampu mewarnai jalanan, berpijar dan memendarkan sinar gemerlap yang membiaskan cahaya pelangi berpadu dengan umbul-umbul dan ondel-ondel. Menjelang malam pemandangan di sepanjang jalan protokol kota metropolis ini bertambah semarak.
K K K

Kamar merah jambu nan temaram. Dipan kayu jati berseprai putih, kelambu putih, membuat ruangan terasa sakral. Kamar Galuh berada di lantai dua. Di tengah dinding ruangan berukuran 4 x 5 meter itu ada sebuah jendela bulat yang berkusen sangat lebar. Dari jendela kamarnya, Galuh biasa melihat atap-atap rumah yang berjejalan di kejauhan. Kadang dia duduk bersandar di kusennya yang terbuat dari beton, bahkan sering tertidur.

Tapi kali ini kebiasaan itu tak dilakoninya. Hasil rontgen terakhir dari Lab Rumah Sakit telah mengusik ketenangannya. Ia meraih album besar yang  teronggok sepi di meja sudut. Sepasang tangannya membuka album itu dan tampak dirinya sedang tersenyum ceria. Dibelakangnya seorang pemuda tak kalah lebar senyumnya. Dengan nafas tertahan dia meraba foto itu. Menatap di kedalaman jiwa. “Mahesa…matamu, mataku…mata papa.”

Lantas tangan itu terus membuka lembar demi lembar foto-foto yang terpampang dihadapannya. Perlahan timbul rasa yang menguak dalam dadanya, begitu pelan namun tajam mengiris. Hingga ia tak kuasa membendung segala perih yang merambat ke sekujur tubuhnya. Sebulir air mata Galuh jatuh di atas selembar foto empat anak manusia berlatar sekumpulan teratai yang tengah mekar.

Dengan menatap foto itu saja, puluhan kabel memori yang telah lama tertidur, berlompatan dan membuat keriuhan dalam benak Galuh. Jemari tangannya menyusuri setiap inci yang terekam. Mengungkap potongan-potongan masa silam yang tertera di atas foto. Galuh terhenyak. Jemarinya bergetar, tak kuasa menahan lara yang memenuhi rongga dada yang telah merampas keutuhan dirinya kali ini. “Papa….” gumamnya lirih.

Tiga tahun lalu, pesta ulang tahunnya dan Mahesa diadakan di Taman Teratai. Mereka menyukai sisi arsitektur bangunan luar termasuk pilar dan ukiran tiang pendopo. Interior kursi dan mejanya khas daerah Bali. Corak ragam hias taman itu mengesankan pulau dewata. Keunikan pestanya adalah karena Galuh boleh mengundang anak-anak kecil dari keluarga tak mampu ikut menikmati hidangan pesta. Hal yang tak lazim di mata kawan-kawannya tapi menyenangkan buatnya.

Papa adalah inspirasi hidup Galuh. Namun kebahagiaan hanya mampir sejenak dalam hidupnya. Semua cerita indah selama 15 tahun dilaluinya bersama Papa tinggal sebuah cerita. Sebulan setelah pesta itu, dalam rinai hujan yang deras, mobil yang dikendarai Papa tertimpa pohon besar di tepi jalan yang mengakibatkan kematiannya. Kecelakaan tragis itu meluluhlantakan hidup Galuh dan Mama. Tertatih, mereka berusaha bangkit meraih hidup kembali bersama Mahesa. Tiga tahun berlalu dan hasil rontgen itu datang…

Lompatan kabel memori dalam kepalanya terus mendengung seperti sekumpulan lebah yang membuatnya pening. Galuh melenguh, “Apakah papa akan menjemputku…”
K K K

Minggu pagi. Suara celoteh Mahesa dan Mama membuat Galuh terbangun dari tidurnya. Cahaya keemasan menyisip dari balik gordin bunga-bunga tulip berwarna biru-ungu yang menutup jendela. Selepas mandi, Galuh melewati mereka yang sedang sarapan di teras.
“Mau kemana Ga?” sapa mama lembut.
“Joging.”
“Sarapan dulu Ga.” mama mencoba menahan langkahnya.
“Nanti saja Ma. Belum lapar.” Galuh mengecup pipi mama. Tanda bahwa ia minta izin.
“Aku ikut.” serentak Mahesa berdiri dan meraih jemarinya. Galuh menyambutnya.
“Galuh, ini teh susu kesukaanmu.” Mama menyodorkan gelas pada Galuh, membuatnya tak bisa menolak.
“Terima kasih Ma. Apapun lebih enak dengan mama di sisiku.” Galuh tersenyum. Dia bergayut manja di lengan mama dan mengecup pipinya sekali lagi.
“Aku antar Galuh berkeliling ya, Ma.” Mahesa pamit dan mengecup lembut pipi mama. 
“Hati-hati di jalan sayang. Jaga Galuh, Sa.” Mama melambaikan tangan pada mereka.

Pelan tapi pasti, Galuh dan Mahesa menyusuri jalan setapak menyisiri blok demi blok perumahan menuju Taman Teratai. Galuh sangat mengagumi kabut pagi. Kabut pagi yang menghubungkan masa kini dengan masa kecil bersama Papa. Tapi sering kali Galuh terlupa. Maka dicobanya memburu sisa-sisa kabut pagi yang masih tampak pagi ini. Mentari sudah condong ke arah barat ketika mereka sampai di Taman Teratai. Pada satu openstage yang menghadap kolam teratai, mereka duduk bersila.

Dengan leluasa Mahesa menatap hamparan aneka kelompok manusia kompleks yang tak asing ; tertawa, berlari, berteriak, bahkan diam. Sedangkan Galuh melepaskan keluasan pandang matanya pada awan yang menggantung di langit. Berharap gumpalan-gumpalan kegelisahan yang menyesakkan nafasnya terbang membumbung bersama awan-awan itu dan berarak pergi ke sisi langit yang lain. Seperti asa yang sama pada segala tumpahan rasa duka atas sakit yang di deritanya.

Mahesa beralih pada sikap diam Galuh. Galuh semakin kurus. Matanya terpaku pada satu teratai biru yang tengah mekar di antara banyak teratai putih.  Sepotong ucapan Galuh jatuh di keheningan; “Teratai biru itu langka dan usia keindahan teratai itu hanya sebulan lalu luruh. Tapi ia meninggalkan benang sarinya, untuk kemudian terus tumbuh mencipta teratai biru yang lain. That’s how’s life actually Mahesa. Keindahan itu hanya sesaat.”

“Bagiku tak ada keindahan yang sesaat bila kamu selalu ada di dekatku, Galuh.”
“Aku yakin, kamu sangat mengenalku dengan baik. Kuharap kamu tak mencari-cari aku dalam kenangan esok.”
“Apa maksudmu? Sebulan ini sikap dan tutur katamu jadi aneh.
“Mungkin besok tak ada lagi seorang Galuh dalam hari-harimu, Mahesa.”
“Kamu bercanda. Kamu akan selalu ada di hatiku.”
Galuh menatapnya lekat dan meraih jemarinya. “Aku akan menyusul Papa, Mahesa.”
“Ngomong apa kamu, Ga? Istighfar. Allah akan memanjangkan usiamu.” Mahesa berusaha menata suaranya untuk tetap tenang.
Galuh menggeleng. Sesaat menarik nafas dalam. “Aku menjadi kuat selama kamu ada di dekatku, Mahesa. Tapi aku tak bisa egois meminta itu selamanya pada Allah.”
I believe we will always be together, if you want to believe it.”  Mahesa menyentuh halus lengan Galuh. Dia menatap tembus ke manik matanya, “Do you?

Galuh mengangguk. Mencoba menenangkan Mahesa lewat senyuman. “Tapi aku tak punya pilihan Mahesa. Kamu akan menjalani hidupmu di sini bersama Mama. Sedang aku…. aku akan melanjutkan hidup di tempat lain, yang entah apa.” 
“Galuh, kenapa kamu begitu yakin akan meninggalkanku dan Mama?” Mahesa mengguncang bahunya. Suaranya keluar dengan ritme nafas yang tersengal.
“Kamu tahu kondisiku kan?” Galuh berdesis. Mahesa mengangguk pelan.
“Kenapa kita harus takut dengan perpisahan? Jika pada akhirnya nanti kita akan berpisah juga.” Suara Galuh tercekat di tenggorokan.

Mereka saling bersitatap dalam diam. Mahesa menyusuri wajah Galuh. Mencari kesungguhan dalam garis wajah yang sejak kecil dikenalnya. Untuk kesekian kalinya wajah itu terlihat tak bernyawa. Hanya garis-garis pias tertangkap di bola matanya. Mahesa bergidik. Dia seperti melihat dirinya sendiri pada ruang dan waktu yang kerap dijelajahinya bersama Galuh. Saudara kembarnya yang sejak lahir menderita penyakit jantung bawaan. Para dokter lebih sering menyebutnya congenital heart disease.

Semakin bertambahnya usia, lubang di antara dua serambi jantung Galuh semakin besar hingga memicu penyakit paru-paru. Galuh makin sering sesak nafas dan bibirnya sering terlihat membiru. Dokter memprediksi meski ikut terapi tapi harapan hidup Galuh tetap rendah. Mahesa iba padanya. Dia dan mama selalu berusaha untuk menghibur Galuh.

Desir angin pagi menggoyangkan dahan-dahan dan ranting pepohonan. Daun-daun jatuh mengecup lembut rumput di sekitar taman. Riak-riak halus pun timbul di seluruh permukaan kolam teratai. Atmosfer syahdu bagi benak dan jiwa yang gelisah akan mimpi-mimpi. Sesaat Galuh tersenyum. Bibirnya bergetar mengeja puisi yang dia suka.
“Seperti riak air, setiap getaran menjauhkan kita dari pusat tetesan dan sebelum kita tersadar, ribuan tetes gerimis menjelmakan  kegelisahan dan mimpi-mimpi baru.”*

Mahesa meraih jemarinya dan mengusap lembut keringat yang berembun di pelipis Galuh. “Aku sayang kamu, Galuh.”
“Aku juga sayang kamu, Mahesa. Aku juga sayang Mama. Aku bahagia bersama kalian.”
“Terima kasih Ga. Bertahanlah untuk kami.”
Galuh tersenyum ragu. “Aku hanya mampu bertahan tapi Allah yang berkuasa atas hidupku.” Suaranya kembali tercekat di tenggorokan.
Mahesa tak kuasa mendengarnya dan memilih menopangkan wajahnya di atas pundak Galuh. Mereka seperti disatukan oleh bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
K K K

Kabut tak jua sirna. Sejak pagi kuningnya matahari tidak tampak. Sementara mega berarak cepat membentuk formasi sepasukan kuda putih yang bermetamorfosa menjadi awan kelabu. Langit menghitam, mengeluarkan gemuruh bertalu. Hingga tersedak mengeluarkan cahaya kilat. Petir pun menyambar, menukik di atas tiang-tiang listrik di seberang jalan. Sekejap tangis langit pun tumpah. Titik-titik air turun membasuh bumi.

“Mahesa…” lirih Galuh memanggil. Tak ada sahutan. Sudah 2 hari Mahesa dirawat di Rumah Sakit. Mahesa terserang DBD. Mama terlambat menyadarinya. Karena mengira nyeri kepala yang menyerang Mahesa hanya sakit kepala biasa. Pun ketika Mahesa mengeluh persendiannya ngilu, Mama mengira itu karena Mahesa terlalu letih bertanding basket. Mama baru cemas ketika Mahesa mimisan. Melihat lubang hidung Mahesa yang terus berdarah dan bintik-bintik merah menyebar di seluruh kulit tubuhnya, mama baru membawanya ke Rumah Sakit. Tapi Virus Dengue yang ganas telah menggerogoti kekebalan tubuhnya. Mahesa demam tinggi. Tubuhnya terlanjur rapuh.

“Mahesa…” Galuh memanggil lagi. Masih tak ada sahutan. Tubuh Mahesa pun tak bereaksi. Galuh tak ingin melepaskan pegangannya pada jemari Mahesa. Jemari yang dingin dan pucat. Seorang perawat menghampiri dan mengontrol keadaan Mahesa. Keningnya bertaut. Dia menghela nafas dan memandang Galuh dengan bibir terkatup dan meninggalkan ruangan. Galuh sangat cemas ketika disentuhnya seluruh tubuh Mahesa begitu dingin. Tak lama perawat tadi datang bersama perawat lain. Mereka begitu sibuk mengontrol keadaan Mahesa.
“Maaf, saudara mbak sudah tak bernyawa…” Perawat tadi bicara begitu pelan tapi terdengar seperti gemuruh halilintar di telinga Galuh.
“Kami harus segera memindahkannya ke ruangan lain.” Perawat lain berkata.

Galuh tak bergeming. Rasa sakit di jantungnya membuat nafasnya sesak. Para perawat itu akhirnya bergegas mengeluarkan dipan Mahesa dari kamar yang sudah dihuninya 2 hari 2 malam. Mereka memindahkan Mahesa ke lantai lain. Galuh mengiringinya hingga para perawat memasukkan dipan Mahesa pada kamar berpenghuni tubuh-tubuh tertutup kain putih. Galuh tak bisa menjerit pun merintih. Ia merasa tubuhnya melayang.

Hidup memang tak selalu mulus dan tak selalu seperti yang diharapkan. Harapan Galuh mengarungi hari-hari terakhir bersama Mahesa tiba-tiba terhenti. Jiwanya terhenyak di alam kenestapaan. Matanya menatap kaku pada tubuh yang juga kaku. Kemesraan kakak beradik dan cinta kasih saudara kembarnya terpenggal tepat di urat nadi. Tubuh Mahesa kini tanpa ruh. Kematian sudah menunaikan janji. Bukan atas dirinya tapi Mahesa!

“Kau tahu Sa, hingga kemarin, matamu mataku masih seperti cermin kita bersitatap mempertanyakan asa. Kalau kau lihat kini, riak air di mataku menjelma tetes gerimis kegelisahan. Sa, masihkah ada mimpi baru untukku bila aku hidup tanpamu?” Pikiran Galuh menerawang ke langit lepas. Begitu kelabu dalam rinai hujan yang deras. Ruhnya serasa ingin mengiringi perjalanan ruh Mahesa menuju sisi Sang Pencipta.

“Allah pernah memberikan permata yang indah pada Mama. Dan kini, Ia mengambilnya kembali. Mahesa, kaulah permata itu. Apa yang selama ini kau lakukan untuk kita semua, telah menjadi kehidupan paling istimewa buat Mama.” wanita separuh baya itu tak dapat menahan isak tangisnya. Dia merangkul Galuh, mencoba berbagi kekuatan.

Galuh menatap hampa jalanan yang seolah tak berwarna. Angin hujan menghempas ruang beku hatinya dan membulirkan air dari sudut rapuh matanya. “Inikah jawab dari gundah yang kerap melanda jiwanya?”  Puluhan kabel memori kembali berlompatan dan menari dalam benak Galuh. Begitu riuh membuatnya sangat pening. Segala sesuatu seperti berjalan mundur, seperti derasnya air hujan yang menyulap horizon menjadi hijab pandangnya hingga ke titik nisbi. Galuh limbung. Dia tak ingat apa-apa lagi…
L L L
(*cerpen ini terinspirasi dari puisi ‘Matamu Mataku’ karya Epri Tsaqib, pernah di muat di Story edisi 11. Penggunaan bait-bait puisi atas seizinnya. Terima kasih untuk Mas Epri. Salam sukses!)

Profil Penulis : 


Wiekena pernah menjadi  Juara III Lomba Cerpen Cintaku Untukmu QLC Trenggalek, Februari 2010, Judul : ”Menyibak Tirai Papa ke Huizen”.

Dua kali Juara I Lomba Cerpen Pramuda FLP Jakarta 2008, Judul : “Kisah Di Balik Hujan” dan ”Kisah Seorang Schizoprenic”.  

Essai “The Lost Prince” tergabung dalam buku “24 Jam Sebelum Menikah” bersama Koko Nata, Aura Nafisha dan penulis FLP lainnya.

Cerpen-cerpennya yang di muat di media antara lain :”My Funky Mom” (Teen). ”Asrama Dara *Mode On” (Gaul). ”Suara Seorang Waria” (Kompas). ”Cinta Rumah Singgah” (Wanita Indonesia). Resensi ”Munir ’Cermin’ Yang Mewariskan Keberanian” (Radar Malang) dan resensinya untuk novel Casuarina terpilih sebagai Resensi Tertajam (2009). Tulisannya juga tergabung di dalam buku "Para Guru Kehidupan." (geraibuku.com, 2011).

Selasa, 24 Mei 2011

MATA - MALAM


MATA - MALAM



: ibu


aku selalu suka kau menjadi malam
diammu adalah bintangbintang
sengaja kau titiskan satupersatu
ke dalam siangku yang berkejaran
lelah dipapar waktu

pada malam
kau datang mengambil separuh mataku
dalam pengembaraan cahaya bayang

pada matamu
redup dan temaram menarikku
sebagai lelaki kecil tanpa alas kaki
berlarian bersama bulan
mendekap pelukan hangatmu


Epri Tsaqib

Sepenggal Catatan Perjalanan Seorang Relawan*

Sepenggal Catatan Perjalanan Seorang Relawan*

Oleh : Epri Tsaqib



Salah satu episode hidup yang mungkin termasuk banyak saya tulis dan terpatri dalam benak saya adalah ketika menjadi seorang relawan pada sebuah lembaga kemanusiaan di Jakarta. Salah satu hal yang paling saya sukai darinya adalah karena saya memiliki kesempatan bertemu dengan banyak orang dengan beragam karakter, mengunjungi tempat-tempat yang sama sekali baru bagi saya dan mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berkesan dan tentu saja berharga di dalam kehidupan saya sendiri.

Saya ingat pada awal tahun 2006, saya bertugas ke Nusa Tenggara Barat yang pada saat itu ditetapkan Pemerintah RI masuk katagori KLB (Kejadian Luar Biasa) yakni berkaitan dengan adanya kasus Busung Lapar atau diistilahkan Kwashiorkor. Cukup mengherankan bagi saya dan tim saya, karena penetapan KLB itu sudah hampir 1 tahun berlalu, akan tetapi kasus-kasus Busung Lapar ini masih begitu banyak dijumpai di Nusa Tenggara Barat. Data-data itu saya peroleh dari jaringan rekan-rekan relawan saya yang berada di Lombok NTB, mereka yang sehari-hari bertugas dan tinggal di daerah itu berulang kali memberikan kabar kepada saya mengenai kasus ini ketika itu. 

Singkat cerita saya berangkat untuk membawa misi  bantuan kemanusiaan kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung itu.Selepas turun dari bandara, tanpa beristirahat terlalu lama, saya dan seorang rekan saya diantar oleh mitra kami di NTB, sebuah LSM lokal yang aktif mengadvokasi dan membantu masyarakat itu ke rumah keluarga yang kekurangan gizi dan menderita Busung Lapar.  Kami mendatangi sebuah keluarga di sebuah dusun yang warganya banyak terkena Busung Lapar ketika itu. Bapak Munawir, demikian nama kepala keluarga pertama yang saya datangi. Kami (saya dan rekan saya) segera terdiam sesaat (tepatnya tertegun kaget dan miris) ketika melihat kondisi kedua anak pak Munawir yang dibawa ke halaman tempat kami menunggu. Si sulung putra Bapak Munawir  yang bernama Abdul Wahid berusia 12 tahun berat badannya hanya sekitar 17 kg (kurus sekali, setara dengan anak berusia 3 tahun), saya membantu pak Munawir menggendong anak itu …ah…wajah anak itu begitu pucat dan tubuhnya ringan sekali. Ketika saya melepas gendongan saya karena ingin mencatat  data-datanya ternyata Abdul Wahid tidak bisa duduk dengan tegak karena badannya  memang lemas hingga satu tangan saya harus ikut juga memeganginya. Anak itu seperti layaknya orang yang lumpuh, hanya bisa berbaring dan bersandar (itupun harus dipegangi), semua karena ia semata kekurangan makan…hiks, lagi-lagi mulut saya tercekat. Sementara adiknya yang bernama Raihun (8 tahun) tidak jauh berbeda keadaanya. Bahkan dari mulutnya juga selalu meneteskan air liur. Badannya juga sama kurusnya seperti kakaknya. Kedua kakak beradik ini belum bisa berbicara secara lancar padahal usianya sudah jauh dari cukup untuk bisa melakukannya.

Menurut penuturan ayahnya, mereka berdua mengalami hal semacam ini sejak usia kurang lebih 7 bulan. Sampai hari ini, saat kami mengunjunginya, kondisinya belum berubah banyak. Keduanya pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Mataram oleh  LSM yang menjadi mitra lokal tempat kami bertugas ketika itu.  Pak Munawir gamang dan bingung, di satu sisi ia harus bolak-balik dan menunggu kedua anaknya yang dirawat di Rumah Sakit namun di sisi lain Istri dan anaknya yang ketiga yang masih bayi pasti kelaparan karena ia praktis tidak bisa bekerja karena harus menunggui kedua anaknya. Munawir  adalah seorang buruh tani yang digaji harian di kampungnya. Dilematis sekaligus ironi baginya, bak memakan buah simalakama.  Akhirnya dalam keadaan bingung, ia memutuskan membawa kabur kedua anaknya yang sebenarnya masih butuh perawatan itu  pulang ke rumahnya secara diam-diam agar bisa mencari nafkah bagi istri dan anak ketiganya yang masih bayi.

Sungguh hati saya bagai disayat-sayat sembilu ketika itu. Perasaan saya campur aduk tak menentu melihat kenyataan ini. Betapa zalimnya para pemimpin di negri ini yang tidak bersegera bertindak melihat anak-anak negrinya dalam keadaan seperti itu. Masya Alloh….apakah jabatan dan kemewahan yang dimiliki para pejabat itu begitu menyilaukan dan membuat mereka tak lagi sempat mengurusi rakyatnya yang ditimpa nestapa perih karena himpitan ekonomi  semacam pak Munawir dan  keluarganya ini?  Entahlah, yang pasti saya sulit berkata-kata ketika itu, apalagi setelah rekan saya menunjukkan lebih banyak lagi orang-orang yang bernasib sama dengan keluarga pak Munawir di bumi NTB ketika itu. Betapa anehnya keadaan kita yang buminya begitu subur, gemah ripah loh jinawi, akan tetapi rakyatnya hidup dalam himpitan tekanan ekonomi sedemikian rupa. Perlu dicatat ketika itu NTB adalah propinsi kedua setelah NTT di mana banyak  ditemukan anak-anak penderita busung lapar  seperti keluarga Bapak Munawir.  Setelah itu, dengan dibantu LSM lokal yang menjadi mitra kerja lembaga tempat saya bernaung, kami membuat program reguler berupa program perbaikan gizi dengan pemberian susu dan makanan sehat secara gratis bagi dusun-dusun miskin dan penyuluhan dari kader-kader relawan kesehatan di NTB. Semua diawali dengan pemberian daging kurban Idul Adha yang dititipkan para donatur dari Jakarta kepada kami ketika itu.  Saat pemotongan hewan kurban dan memberikan daging-daging itu kepada para keluarga-keluarga miskin itu termasuk Bapak Munawir dan keluarganya, tak terasa mata saya menghangat haru. Wajah-wajah kuyu dan kurus itu tersenyum dan berulang kali mengucapkan terimakasih kepada saya dan kawan-kawan. Sebagian orang tua anak-anak penderita busung lapar itu memeluk saya dengan menangis sambil terbata-bata berkata di telinga saya,

“Terimakasih nak, terimakasih…..semoga Alloh membalas budi baikmu dan mengangkat derajat keluargamu…” Dada saya terasa sesak. Saya hanyalah relawan yang kebetulan dititipi amanah menyalurkan bantuan, tidak lebih. Tapi rasa syukur mereka begitu dalam dan tulus. Bagi mereka, bisa makan daging sapi sehat dan segar semacam itu mungkin ya cuma bisa datang 1 tahun sekali saat lebaran Idul Adha semacam ini, itupun bila di desa mereka ada yang kebetulan memotong hewan kurban.  Setelah itu, para rekan relawan lokal kami yang ada di NTB bekerjasama dengan Lembaga yang menugaskan saya di Jakarta meneruskan program reguler perbaikan gizi pada saat itu kepada keluarga-keluarga penderita Busung Lapar berupa pemberian susu dan makanan sehat serta penggalakkan kegiatan Pos Yandu yang salah satunya adalah secara rutin menimbang berat badan bayi serta penyuluhan-penyuluhan kesehatan. 

Semestinya para relawan lokal itulah yang sebenarnya lebih pantas menerima semua ucapan terima-kasih dari para keluarga penderita busung lapar, merekalah yang dengan sabar terus mengadvokasi dan memberi bantuan sebisa-bisanya dengan semua keterbatasan sumber dana yang mereka miliki.  Dari mereka saya banyak belajar bahwa kesungguhan dan keikhlasan berbuat untuk sesama akan memberi efek secara langsung kepada diri kita sendiri. Apalagi kalau bukan kebahagiaan hati. Dengan membantu sesama sekecil apapun, kita sebagai pribadi akan merasa jauh lebih berarti dan hidup itu sendiri baru akan terasa memiliki makna.  Semoga Alloh menjaga hati saya dan menurunkan pemimpin yang adil di negri ini, karena setelah 5 tahun berlalu sejak saya pergi ke NTB itu, sampai hari saya masih mendengar berita mengenai busung lapar ini masih muncul di beberapa stasiun TV di beberapa wilayah lain di Indonesia termasuk di pulau Jawa dan bahkan terakhir ada berita semacam itu di pinggir Ibukota Jakarta ini, di mana para pejabat dan wakil rakyat hidup mewah dan sangat rajin studi banding keluar negri.


                                                                               *****

* Diambil dari tulisan saya yang berjudul “Kita Tak PantasMencium Bau Surga.”, Portalinfaq.org 2006 dengan sedikit
tambahan materi untuk keperluan buku ini. 

~ Saya persembahkan tulisan ini untuk sahabatsahabat saya di LSM  GEMMA    (Gerakan Pemuda Mandiri Nusantara,
Mataram, NTB). Juga rekan saya Agus yang     ikut pada saat bertugas di NTB. Semoga Alloh memberi kekuatan dan  balasan yang    
tak terhingga untuk kalian ya.~

Yang Penasaran dengan isi Buku PARA GURU KEHIDUPAN ini silahkan pesan ke www.geraibuku.com atau email ke geraibuku@gmail.com telp/SMS ke : (021) 3099 8655

Jumat, 29 April 2011

Hilang



Aku tak lihat lagi sungai itu mengalir di matamu
Apakah kemarau begitu panjang?
Ataukah mereka semua sudah terseret dan bermuara di pelukan laut?


Epri Tsaqib
Selatan Jakarta, 2009

*Dimuat di majalah KORT

2 Sisi



betapa ingin kau menjadi malam
berharapharap sebentar lagi aku tertidur
lalu diamdiam kau menyelusup ke dalam mimpiku


betapa ingin aku menjadi pagi
menyapa embun, mengunyah matahari

dan melupakanmu


Epri Tsaqib

*Dimuat di Majalah Story 2010

Sajak Lama


 














aku bertemu sajak lama di matamu

sajak yang dulu pamit
mencari kemungkinan makna baru 
pada perjalanan yang jauh

setelah sekian lama
kau bilang sajak itu sudah kau rubah
menjadi sebuah lukisan

gambar yang bercerita tentang pertemuan,
                            kepergian, kehilangan,
                      kepulangankepulangan
lalu, entah kenapa
bayangan rumah, teras, rumput dan sepenggal nyanyian
terpantul hilang dan timbul di antara kedip matamu


Epri Tsaqib

*Dmuat di Harian Republika, 24 Januari 2010